Senin, 24 April 2017

RENCANA KERJA KEGIATAN T.A. 2016 BTKL MANADO



LAMPIRAN
KEPUTUSAN KEPALA BTKLPP KELAS I MANADO
NOMOR: HK.02.04/VIII.9.1/0191/2015
TENTANG
RENCANA AKSI KEGIATAN BTKLPP KELAS I MANADO TAHUN 2015-2019

RENCANA AKSI KEGIATAN BALAI TEKNIK KESEHATAN LINGKUNGAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT  (BTKLPP) KELAS I MANADO TAHUN 2015-2019

BAB I. PENDAHULUAN


Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mengamanatkan bahwa setiap kementerian perlu menyusun Rencana Strategis (Renstra) yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Selanjutnya Menteri Kesehatan mengamanahkan bahwa Renstra Kementerian Kesehatan harus dijabarkan dalam Rencana Aksi Kegiatan Unit Eselon I.
Sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN) mengamanatkan bahwa setiap kementerian perlu menyusun Rencana Strategis (Renstra) yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Sehingga Kementerian Kesehatan untuk kurun waktu tahun 2015–2019 dituangkan dalam bentuk Rencana Strategi (Renstra). Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah Program Indonesia Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan kesehatan. Program Indonesia dituangkan dalam sasaran pokok RPJMN 2015-2019
Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan 3 pilar utama yaitu paradigma sehat, penguatan pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan nasional. Pilar paradigma sehat di lakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan promotif preventif dan pemberdayaan masyarakat. Pilar penguatan pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan, optimalisasi sistem rujukan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan, menggunakan pendekatan continuum of care dan intervensi berbasis risiko kesehatan. Sementara itu pilar jaminan kesehatan nasional dilakukan dengan strategi perluasan sasaran dan benefit serta kendali mutu dan kendali biaya.
BTKLPP Kelas I Manado menyusun Rencana Aksi Kegiatan (RAK) tahun 2015 – 2019 dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dimana dalam rencana aksi memuat arah kebijakan, strategi, tujuan dan sasaran serta program-program dan tata cara penyelenggaraan, pemantauan dan penilaian yang dilengkapi dengan indikator kinerja yang akan dicapai. Upaya tersebut dilakukan dengan memperhatikan dinamika kependudukan, Epidemiologi penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta globalisasi dan demokratisasi dengan semangat kemitraan dan kerjasama lintas sektoral. Penekanan diberikan pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat serta upaya promotif dan preventif. Pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan yaitu setiap kebijakan publik selalu memperhatikan dampaknya terhadap kesehatan.
Rencana Aksi Kegiatan (RAK) Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) Kelas I Manado merupakan penjabaran lebih lanjut dari RAP Ditjen PP & PL dan Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019.
Dokumen RAK ini merupakan perencanaan program yang bersifat indikatif yang menguraikan kegiatan–kegiatan yang akan dilaksanakan oleh BTKLPP Kelas I Manado dalam kurun waktu 2015-2019, dilengkapi dengan indikator Kinerja serta perkiraan anggaran yang dibutuhkan. Untuk memudahkan penjabaran di dalam dokumen RAK ini maka uraian rencana kegiatannya disusun berdasarkan tugas pokok dan fungsinya.
II.       Kondisi Umum, Potensi dan Permasalahan
1.    Kondisi Umum dan Potensi
Gambaran kondisi umum, potensi dan permasalahan pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan dipaparkan berdasarkan hasil pencapaian program, kondisi lingkungan strategis, kependudukan, sumber daya, dan perkembangan baru lainnya. Potensi dan permasalahan BTKLPP Kelas I Manado menjadi input dalam menentukan rencana kegiatan dalam bidang Pengendalian Pentakit dan Penyehatan Lingkungan khususnya di wilayah layanan regional adalah sebagai berikut:
a.    Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia BTKLPP Kelas I Manado sampai dengan bulan Desember 2014 berjumlah 57 orang, yang terdiri dari PNS yang aktif 43 orang dan honorer 14 orang. Pada tahun 2015 terjadi perubahan jumlah SDM yaitu 68 orang, yang terdiri dari pegawai 56 orang dan honorer 12 orang.
b.    Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular
1)    Penyakit Menular
a)    Penyakit Menular Langsung
Prioritas penyakit menular, masih tertuju pada penyakit HIV/AIDS, tuberculosis, malaria, demam berdarah, influenza dan flu burung. Disamping itu Indonesia juga belum sepenuhnya berhasil mengendalikan penyakit neglected diseases seperti kusta, filariasis, leptospirosis, dan lain-lain. Angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti polio, campak, difteri, pertusis, hepatitis B, dan tetanus baik pada maternal maupun neonatal sudah sangat menurun, bahkan pada tahun 2014, Indonesia telah dinyatakan bebas polio.
Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab utama kematian dimana sebagian besar infeksi terjadi pada orang antara usia 15 dan 54 tahun yang merupakan usia paling produktif, hal ini menyebabkan peningkatan beban sosial dan keuangan bagi keluarga pasien.  Studi pada tahun 2013 The Economic Burden of TB in Indonesia, memberikan gambaran bahwa peningkatan jumlah kasus memiliki dampak yang besar pada beban ekonomi.
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2014, Tuberkulosis di Sulawesi Utara, dan Gorontalo untuk besarnya angka notifikasi atau case notification rate (CNR) BTA+ merupakan 2 provinsi yang masuk kategori 4 tertinggi yaitu 219 per 100.000 penduduk (Sulawesi Utara) dan 133 per 100.000 penduduk (Gorontalo). Sedangkan Provinsi Maluku Utara sebesar 79 per 100.000 penduduk.
Setelah 3 tahun berturut-turut (2010-2012) cukup stabil, perkembangan jumlah kasus baru HIV positif pada tahun 2013 dan 2014 kembali mengalami peningkatan secara signifikan. Berdasarkan profil kesehatan tahun 2014, epidemi HIV di Provinsi Sulawesi Utara masuk dalam kategori kedua tertinggi yaitu 324-440 kasus. Akan tetapi, untuk Provinsi Gorontalo dan Maluku Utara masuk dalam kategori yang kurang yaitu kurang dari 90 kasus.
Pada tahun 2000 Indonesia telah mencapai eliminasi kusta dengan prevalansi < 1/10.000 penduduk, namun masih ada 14 provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta. Kusta masih menjadi masalah di Indonesia karena pada setiap tahunnya masih ditemukan sekitar 16.000 – 20.000 kasus baru. Di tahun 2014 ditemukan 17.025 kasus baru, dengan angka kecacatan tingkat II sebesar 9% dan kasus anak 11%. Pada tahun 2014 dilaporkan 17.025 kasus baru kusta dengan 83,5% kasus di antaranya merupakan tipe Multi Basiler (MB).
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2014 angka penemuan kasus kusta per 100.000 penduduk, maka Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Maluku Utara masuk dalam kelompok beban kusta tinggi (high burden) yaitu ≥ 10 per 100.000 penduduk. Kemudian Provinsi Maluku Utara tertinggi dalam angka cacat tingkat II sebesar 27,16 per 1.000.000 penduduk, diikuti oleh Provinsi Gorontalo sebesar 8,81 per 1.000.000 penduduk dan Provinsi Sulawesi Utara sebesar 5,04 per 1.000.000 penduduk.
Diare meskipun penyakit ini mudah diobati dan di tatalaksana, namun saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat, terutama pada bayi dan balita dimana diare merupakan salah satu penyebab kematian utama. Dari kajian masalah kesehatan berdasarkan siklus Kehidupan tahun 2011 yang dilakukan oleh badan Litbangkes, Diare merupakan penyebab kematian nomor 2 sesudah Pneumonia, proporsi penyebab kematian pada bayi post neonatal sebesar 17,4% dan pada bayi sebesar 13,3%.
Menurut Riskesdas 2013 insiden diare berdasarkan gejala sebesar 3,5% dan insiden diare pada balita sebesar 6,7%. Sedangkan period prevalence diare berdasarkan gejala sebesar 7%. Untuk Provinsi Gorontalo period prevalence diare berdasarkan gejala berada di atas angka nasional sebesar 7,1%.
Salah satu upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit menular adalah dengan pemberian imunisasi. Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) diantaranya adalah Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio, Tetanus serta Hepatitis B.  Beberapa penyakit tersebut telah menjadi perhatian dunia dan merupakan komitmen global yang wajib diikuti oleh semua negara, yaitu Eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Campak – Pengendalian Rubella (EC-PR) dan Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE).
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2014, tetanus neonatorum dilaporkan terdapat  84  kasus  dari 15 provinsi  dengan jumlah meninggal 54 kasus. Dan salah satu provinsi yaitu Provinsi Maluku Utara.
Pada tahun 2014, dilaporkan terdapat 1.943 kasus campak, lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 11.521 kasus. Jumlah kasus meninggal sebanyak 8 kasus, yang dilaporkan dari 5 provinsi  yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur. Incidence rate (IR) campak pada tahun 2014 sebesar 5,13 per 100.000 penduduk, meningkat dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 4,64 per 100.000 penduduk.
Incidence rate (IR) campak hanya Provinsi Maluku Utara yang berada diatas angka nasional sebesar 11,30 per 100.000 penduduk dibandingkan Provinsi Sulawesi Utara (4,70 per 100.000 penduduk) dan Provinsi Gorontalo (1,32 per 100.000 penduduk).

b)    Penyakit Menular Bersumber Binatang
Pada tahun 2014 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 100.347 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 907 orang (IR/Angka kesakitan= 39,8 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian= 0,9%).  Dibandingkan tahun 2013  dengan kasus sebanyak  112.511 serta IR 45,85 terjadi penurunan kasus pada tahun 2014. Target Renstra Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan DBD tahun 2014 sebesar ≤ 51 per 100.000 penduduk, dengan demikian Indonesia telah mencapai target Renstra 2014. Berikut tren angka kesakitan DBD selama kurun waktu 2008-2014.
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2014 angka kesakitan demam berdarah dengue Provinsi Sulawesi Utara berada di angka nasional (39,80 per 100.000 penduduk) sebesar 53,34 per 100.000 penduduk dibandingkan dengan Provinsi Gorontalo dan Maluku Utara.
Kematian akibat DBD dikategorikan tinggi jika CFR > 2%. Dengan demikian pada tahun 2014 terdapat 5 provinsi yang memiliki CFR tinggi yaitu Provinsi Bengkulu, Kep. Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Gorontalo, dan Maluku. Pada provinsi tersebut   masih perlu upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kesehatan di rumah sakit dan puskesmas (dokter, perawat dan lain-lain) termasuk peningkatan sarana-sarana penunjang diagnostik dan penatalaksanaan bagi penderita di sarana -sarana pelayanan kesehatan.
Secara nasional angka kesakitan malaria selama tahun 2005–2014 cenderung menurun yaitu dari 4,1 per 1.000  penduduk berisiko  pada tahun 2005 menjadi  0,99  per 1.000 penduduk berisiko  pada tahun 2014. Sementara target Rencana Strategi Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan malaria (API/annual parasite incidence) tahun 2014 <1 per 1.000 penduduk berisiko. Dengan demikian cakupan API 2014 mencapai target Renstra 2014.
Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian rabies, yaitu: GHPR (kasus Gigitan Hewan Penular Rabies), PET/Post Exposure Treatment (penatalaksanaan kasus gigitan), dan kasus yang positif rabies dan mati berdasarkan uji Lyssa.
Kasus kematian karena rabies (Lyssa) di tahun 2014 secara signifikan mengalami penurunan dari 195 pada tahun 2009 menjadi 81 kasus Lyssa pada tahun 2014. Demikian juga dengan jumlah kasus GHPR pada tahun 2014 mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir.
Pada tahun 2014 terdapat 42.958 kasus gigitan hewan penular rabies. Kasus GHPR paling banyak terjadi di Bali yaitu sebanyak 21.161 kasus dengan kasus meninggal berdasarkan tes lyssa yang positif rabies berjumlah satu orang. Diikuti oleh Nusa Tenggara Timur  dengan 5.340  kasus  GHPR  serta  Sulawesi Utara  sebanyak  3.601  kasus GHPR dengan 22 positif rabies. Sebanyak enam belas provinsi yang terdapat positif rabies tersebar dilima puluh kabupaten/kota.

2)    Penyakit Tidak Menular
Kecenderungan penyakit menular terus meningkat dan telah mengancam sejak usia muda. Selama dua dekade terakhir ini, telah terjadi transisi epidemiologis yang signifikan, penyakit tidak menular telah menjadi beban utama, meskipun beban penyakit menular masih berat juga. Indonesia sedang mengalami double burden penyakit, yaitu penyakit tidak menular dan penyakit menular sekaligus. Penyakit tidak menular utama meliputi hipertensi, diabetes melitus, kanker dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jumlah kematian akibat rokok terus meningkat dari 41,75% pada tahun 1995 menjadi 59,7% di 2007. Selain itu dalam survei ekonomi nasional 2006 disebutkan penduduk miskin menghabiskan 12,6% penghasilannya untuk konsumsi rokok.
Oleh karena itu deteksi dini harus dilakukan secara proaktif mendatangi sasaran, karena sebagian besar tidak mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit tidak menular. Dalam rangka pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) antara lain dilakukan melalui pelaksanaan Pos Pembinaan Terpadu Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Posbindu-PTM) yang merupakan upaya monitoring dan deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular di masyarakat.
Berdasarkan Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%)  dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%),  Sulawesi Utara  (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3 persen.
Prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan terdiagnosis dokter atau  gejala sebesar 1,5 persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Aceh masing-masing 0,7 persen.
Prevalensi gagal ginjal kronis berdasar diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5 persen, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 persen. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur masing–masing 0,3 persen.

3)    Kesehatan Jiwa
Menurut Riskesdas 2013, prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 per mil. Provinsi Maluku utara berada di atas angka nasional yaitu sebesar 1,8 per mil, sedangkan Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo berada di bawah angka nasional yaitu sebesar 0,8 per mil dan 1,5 per mil. Kemudian prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur ≥ 15 tahun secara nasional adalah 6,0%. Untuk Provinsi Sulawesi Utara sebesar 5,9%, Provinsi Gorontalo sebesar 4,9% dan Provinsi Maluku Utara sebesar 5,4%.

2.    Permasalahan
Dalam kurun waktu tahun 2010-2014 berdasarkan hasil evaluasi masih terdapat permasalahan sebagai berikut:
a.    Komunikasi yang belum intensif dan berkesinambungan dengan instansi terkait yang ada di wilayah kerja BTKL PP Kelas I Manado sehingga kegiatan yang telah disepakati bersama tidak dapat berjalan dengan baik.
b.    Jumlah tenaga laboratorium yang masih minim sehingga pelayanan pada masyarakat atau pengguna jasa laboratorium belum optimal.
c.    Peralatan laboratorium yang sudah usang dan rusak sehingga diperlukan pembaharuan teknologi dan kelengkapannya.
d.    Terjadinya perubahan anggaran karena efisiensi sehingga hal ini berdampak pada pelaksanaan kegiatan dan pencapaian target.

1.      Lingkungan Strategis Nasional

Perkembangan Penduduk. Pertumbuhan penduduk Indonesia ditandai dengan adanya window opportunity di mana rasio ketergantungannya positif, yaitu jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dari pada yang usia non-produktif, yang puncaknya terjadi sekitar tahun 2030. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 adalah 256.461.700 orang. Dengan laju pertumbuhan sebesar 1,19% pertahun, maka jumlah penduduk pada tahun 2019 naik menjadi 268.074.600 orang.Jumlah wanita usia subur akan meningkat dari tahun 2015 yang diperkirakan sebanyak 68,1 juta menjadi 71,2 juta pada tahun 2019. Dari jumlah tersebut, diperkirakan ada 5 juta ibu hamil setiap tahun. Angka ini merupakan estimasi jumlah persalinan dan jumlah bayi lahir, yang juga menjadi petunjuk beban pelayanan ANC, persalinan, dan neonatus/bayi. Penduduk usia kerja yang meningkat dari 120,3 juta pada tahun 2015 menjadi 127,3 juta pada tahun 2019. Penduduk berusia di atas 60 tahun meningkat, yang pada tahun 2015 sebesar 21.6 juta naik menjadi 25,9 juta pada tahun 2019. Jumlah lansia di Indonesia saat ini lebih besar dibanding penduduk benua Australia yakni sekitar 19 juta. Implikasi kenaikan penduduk lansia ini terhadap sistem kesehatan adalah (1) meningkatnya kebutuhan pelayanan sekunder dan tersier, (2) meningkatnya kebutuhan pelayanan home care dan (3) meningkatnya biaya kesehatan.
Masalah penduduk miskin yang sulit berkurang akan masih menjadi masalah penting. Secara kuantitas jumlah penduduk miskin bertambah, dan ini menyebabkan permasalahan biaya yang harus ditanggung pemerintah bagi mereka. Tahun 2014 pemerintah harus memberikan uang premium jaminan kesehatan sebanyak 86,4 juta orang miskin dan mendekati miskin. Data BPS menunjukkan bahwa ternyata selama tahun 2013 telah terjadi kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dari 1,75% menjadi 1,89% dan indeks keparahan kemiskinan dari 0,43% menjadi 0,48%. Hal ini berarti tingkat kemiskinan penduduk Indonesia semakin parah, sebab semakin menjauhi garis kemiskinan, dan ketimpangan pengeluaran penduduk antara yang miskin dan yang tidak miskin pun semakin melebar.
Tingkat pendidikan penduduk merupakan salah satu indikator yang menentukan Indeks Pembangunan Manusia. Di samping kesehatan, pendidikan memegang porsi yang besar bagi terwujudnya kualitas SDM Indonesia. Namun demikian, walaupun rata-rata lama sekolah dari tahun ke tahun semakin meningkat, tetapi angka ini belum memenuhi tujuan program wajib belajar 9 tahun. Menurut perhitungan Susenas Triwulan I tahun 2013, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia adalah 8,14 tahun. Keadaan tersebut erat kaitannya dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS), yakni persentase jumlah murid sekolah di berbagai jenjang pendidikan terhadap penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai.
Disparitas Status Kesehatan. Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat, akan tetapi disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, danantar perkotaan-pedesaan masih cukup tinggi. Angka kematian bayi dan angka kematian balita pada golongan termiskin hampir empat kali lebih tinggi dari golongan terkaya. Selain itu, angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan lebih tinggi di daerah pedesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat pendidikan rendah. Persentase anak balita yang berstatus gizi kurang dan buruk di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan.
Disparitas Status Kesehatan Antar Wilayah. Beberapa data kesenjangan bidang kesehatan dapat dilihat pada hasil Riskesdas 2013. Proporsi bayi lahir pendek, terendah di Provinsi Bali (9,6%) dan tertinggi di Provinsi NTT (28,7%) atau tiga kali lipat dibandingkan yang terendah. Kesenjangan yang cukup memprihatinkan terlihat pada bentuk partisipasi masyarakat di bidang kesehatan, antara lain adalah keteraturan penimbangan balita (penimbangan balita >4 kali ditimbang dalam 6 bulan terakhir). Keteraturan penimbangan balita terendah di Provinsi Sumatera Utara (hanya 12,5%) dan tertinggi 6 kali lipat di Provinsi DI Yogyakarta (79,0%). Ini menunjukkan kesenjangan aktivitas Posyandu antar provinsi yang lebar. Dibandingkan tahun 2007, kesenjangan ini lebih lebar, ini berarti selain aktivitas Posyandu makin menurun, variasi antar provinsi juga semakin lebar.
Upaya imunisasi merupakan salah satu upaya kesehatan yang masih terkendala oleh wilayah dan kondisi geografis. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (64,5%) daripada di perdesaan (53,7%).Universal Child Immunization (UCI) desa yang kini mencapai 82,7% perlu ditingkatkan hingga mencapai 92% di tahun 2019. Dari data rutin cakupan imunisasi dasar lengkap, persentase lebih tinggi terdapat di wilayah bagian barat dibanding wilayah timur.
Diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Menurut peta jalan menuju Jaminan Kesehatan Nasional ditargetkan pada tahun 2019 semua penduduk Indonesia telah tercakup dalam JKN (Universal Health Coverage - UHC). Diberlakukannya JKN ini jelas menuntut dilakukannya peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, baik pada fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitaskesehatan tingkat lanjutan, serta perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Untuk mengendalikan beban anggaran negara yang diperlukan dalam JKN memerlukan dukungan dari upaya kesehatan masyarakat yang bersifat promotif dan preventif agar masyarakat tetap sehat dan tidak mudah jatuh sakit. Perkembangan kepesertaan JKN ternyata cukup baik. Sampai awal September 2014, jumlah peserta telah mencapai 127.763.851 orang (105,1% dari target). Penambahan peserta yang cepat ini tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah fasilitas kesehatan, sehingga terjadi antrian panjang yang bila tidak segera diatasi, kualitas pelayanan bisa turun.
Kesetaraan Gender. Kualitas SDM perempuan harus tetap perlu ditingkatkan, terutama dalam hal: (1) perempuan akan menjadi mitra kerja aktif bagi laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik; dan (2) perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerus karena fungsi reproduksi perempuan berperan dalam mengembangkan SDM di masa mendatang. Indeks Pemberdayaan Gender (IPG) Indonesia telah meningkat dari 63,94 pada tahun 2004 menjadi 68,52 pada tahun 2012. Peningkatan IPG tersebut pada hakikatnya disebabkan oleh peningkatan dari beberapa indikator komponen IPG, yaitu kesehatan, pendidikan, dan kelayakan hidup.
Berlakunya Undang-Undang Tentang Desa. Pada bulan Januari 2014 telah disahkan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Sejak itu, maka setiap desa dari 77.548 desa yang ada, akan mendapat dana alokasi yang cukup besar setiap tahun. Dengan simulasi APBN 2015 misalnya, ke desa akan mengalir rata-rata Rp 1 Miliar. Kucuran dana sebesar ini akan sangat besar artinya bagi pemberdayaan masyarakat desa. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan pengembangan
Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) akan lebih mungkin diupayakan di tingkat rumah tangga di desa, karena cukup tersedianya sarana¬sarana yang menjadi faktor pemungkinnya (enabling factors).
Menguatnya Peran Provinsi. Dengan diberlakukannya UU Nomor 23 tahun 2014 sebagai pengganti UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Provinsi selain berstatus sebagai daerah juga merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan yang telah diatur oleh Menteri Kesehatan, maka UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang baru ini telah memberikan peran yang cukup kuat bagi provinsi untuk mengendalikan daerah-daerah kabupaten dan kota di wilayahnya. Pengawasan pelaksanaan SPM bidang Kesehatan dapat diserahkan sepenuhnya kepada provinsi oleh Kementerian Kesehatan, karena provinsi telah diberi kewenangan untuk memberikan sanksi bagi Kabupaten/Kota berkaitan dengan pelaksanaan SPM.
Berlakunya Peraturan Tentang Sistem Informasi Kesehatan. Pada tahun 2014 juga diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tentang Sistem Informasi Kesehatan (SIK). PP ini mensyaratkan agar data kesehatan terbuka untuk diakses oleh unit kerja instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang mengelola SIK sesuai dengan kewenangan masing-masing.

2.      Lingkungan Strategis Regional

Saat mulai berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara efektif pada tanggal 1 Januari 2016.Pemberlakukan ASEAN Community yang mencakup total populasi lebih dari 560 juta jiwa, akan memberikan peluang (akses pasar) sekaligus tantangan tersendiri bagi Indonesia. Implementasi ASEAN Economic Community, yang mencakup liberalisasi perdagangan barang dan jasa serta investasi sektor kesehatan. Perlu dilakukan upaya meningkatkan daya saing (competitiveness) dari fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan dalam negeri. Pembenahan fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan yang ada, baik dari segi sumber daya manusia, peralatan, sarana dan prasarananya, maupun dari segi manajemennya perlu digalakkan. Akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dan lain-lain) harus dilakukan secara serius, terencana, dan dalam tempo yang tidak terlalu lama.
Hal ini berkaitan dengan perjanjian pengakuan bersama (Mutual Recognition Agreement - MRA) tentang jenis-jenis profesi yang menjadi cakupan dari mobilitas. Dalam MRA tersebut, selain insinyur, akuntan, dan lain-lain, juga tercakup tenaga medis/dokter, dokter gigi, dan perawat. Tidak tertutup kemungkinan di masa mendatang, akan dicakupi pula jenis-jenis tenaga kesehatan lain. Betapa pun, daya saing tenaga kesehatan dalam negeri juga harus ditingkatkan. Institusi-institusi pendidikan tenaga kesehatan harus ditingkatkan kualitasnya melalui pembenahan dan akreditasi.

3.      Lingkungan Strategis Global

Dengan akan berakhirnya agenda Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, banyak negara mengakui keberhasilan dari MDGs sebagai pendorong tindakan-tindakan untuk mengurangikemiskinan dan meningkatkan pembangunan masyarakat. Khususnya dalam bentuk dukungan politik. Kelanjutan program ini disebut Sustainable Development Goals (SDGs), yang meliputi 17 goals. Dalam bidang kesehatan fakta menunjukkan bahwa individu yang sehat memiliki kemampuan fisik dan daya pikir yang lebih kuat, sehingga dapat berkontribusi secara produktif dalam pembangunan masyarakatnya.
Pemberantasan malaria telah berhasil memenuhi indikator MDG’s yaitu API < 1 pada tahun 2015. Pada SDG’s pemberantasan malaria masuk dalam goals ke 3.3 yaitu Menghentikan epidemi AIDS, Tuberkulosis, Malaria dan Penyakit Terabaikan serta Hepatitis, Water Borne Diseases dan Penyakit menular lainnya.
Aksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau. Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan respon global yang paling kuat terhadap tembakau dan produk tembakau (rokok), yang merupakan penyebab berbagai penyakit fatal. Sampai saat ini telah ada sebanyak 179 negara di dunia yang meratifikasi FCTC tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara penggagas dan bahkan turut merumuskan FCTC. Akan tetapi sampai kini justru Indonesia belum mengaksesinya. Sudah banyak desakan dari berbagai pihak kepada Pemerintah untuk segera mengaksesi FCTC. Selain alasan manfaatnya bagi kesehatan masyarakat, juga demi menjaga nama baik Indonesia di mata dunia.
Liberalisasi perdagangan barang dan jasa dalam konteks WTO - Khususnya General Agreement on Trade in Service, Trade Related Aspects on Intelectual Property Rights serta Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklores (GRTKF) merupakan bentuk-bentuk komitmen global yang juga perlu disikapi dengan penuh kehati-hatian. Prioritas yang dilakukan adalah mempercepat penyelesaian MoU ke arah perjanjian yang operasional sifatnya, sehingga hasil kerjasama antar negara tersebut bisa dirasakan segera.
Agenda Ketahanan Kesehatan Global (Global Health Securty Agenda/GHSA) dicanangkan di Washington DC dan Gedung PBB Genewa secara bersamaan pada tanggal 13 Februari 2014. Pertemuan GHSA  pertamadilaksanakan pada tanggal 5-6 Mei 2014 di Helsinki, Finlandia. Pada awalnya, inisiatif GHSA digagas oleh Amerika Serikat dan negara-negara maju dengan melibatkan multi-stakeholders dan multi-sektoral. Selain itu juga dukung badan-badan dunia dibawah PBB diantaranya World Health Organisation (WHO), Food and Agriculture Organisation (FAO), dan World Organisation for Animal Health(OIE).
Di Helsinki, GHSA membahas rancangan GHSA Action Packagesand Commitments yang diharapkan dapat dijadikan rujukan bersama di tingkat global dalam mengatasi ancaman penyebaran penyakit infeksi. Komitmen ini antara lain juga dimaksudkan untuk memperkuat implementasi International Health Regulation-IHR yang telah dicanangkan WHO sebelumnya
Agenda Ketahanan Kesehatan Global (Global Health Securty Agenda/GHSA) juga sebagai bentuk komitmen dunia yang telah mengalami dan belajar banyak dalam menghadapi musibah wabah penyakit menular berbahaya seperti wabah Ebola yang telah melanda beberapa negara Afrika, Middle East Respiratory Syndrome (MERS-Cov) di beberapa negara Timur Tengah, flu H7N9 khususnya di Tiongkok, flu babi di Meksiko, flu burung yang melanda di berbagai negara, dan wabah flu Spanyol tahun 1918. Rangkaian kejadian tersebut seakan menegaskan bahwa wabah penyakit menular berbahaya tidak hanya mengancam negara yang bersangkutan, namun juga mengancam kesehatan masyarakat negara lainnya termasuk dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya.
Termasuk elemen penting dari GHSA adalah zoonosis. Sebagai bentuk dari perwujudan atas elemen penting (komitmen) tersebut, Pemerintah Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pertanian membahas lebih jauh berbagai aspek dari penyakit zoonosis dalam kaitan pencegahan, pendeteksian lebih dini, dan upaya merespon atas munculnya ancaman dari penyakit tersebut.









BAB II

 

TUJUAN DAN SASARAN STRATEGIS

DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT

DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN


Dalam Rencana Aksi Kegiatan BTKLPP Kelas I Manado 2015- 2019 tidak ada visi dan misi.  Rencana Aksi Kegiatan BTKLPP Kelas I Manado mendukung pelaksanaan Renstra Kemenkes  yang melaksanakan visi dan misi Presiden Republik Indonesia yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong”. Upaya untuk mewujudkan visi ini adalah melalui 7 misi pembangunan yaitu:
1.     Terwujudnya keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.
2.     Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berlandaskan negara hukum.
3.     Mewujudkan politik luar negeri bebas dan aktif serta memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
4.     Mewujudkan kualitas hidup manusia lndonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.
5.     Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
6.     Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional, serta
7.     Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.
Selanjutnya terdapat 9 agenda prioritas yang dikenal dengan NAWA CITA yang ingin diwujudkan pada Kabinet Kerja, yakni:
1.     Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara.
2.     Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.
3.     Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
4.     Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
5.     Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
6.     Meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional.
7.     Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
8.     Melakukan revolusi karakter bangsa.
9.     Memperteguh ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Program PP dan PL mempunyai peran dan berkonstribusi dalam tercapainya seluruh Nawa Cita terutama dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui upaya preventif dan promotif.

I.       TUJUAN

Terdapat dua tujuan Kementerian Kesehatan pada tahun 2015-2019, yaitu: 1) meningkatnya status kesehatan masyarakat dan; 2) meningkatnya daya tanggap (responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap risiko sosial dan finansial di bidang kesehatan.
Peningkatan status kesehatan masyarakat dilakukan pada semua kontinum siklus kehidupan (life cycle), yaitu bayi, balita, anak usia sekolah, remaja, kelompok usia kerja,maternal, dan kelompok lansia.
Tujuan indikator Kementerian Kesehatan bersifat dampak (impact atau outcome). Dalam peningkatan status kesehatan masyarakat, indikator yang akan dicapai adalah:
1.         Menurunnya angka kematian ibu dari 359 per 100.00 kelahiran hidup (SP 2010), 346 menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012).
2.         Menurunnya angka kematian bayi dari 32 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup.
3.         Menurunnya persentase BBLR dari 10,2% menjadi 8%.
4.         Meningkatnya upaya peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, serta pembiayaan kegiatan promotif dan preventif.
5.         Meningkatnya upaya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat.
Sedangkan dalam rangka meningkatkan daya tanggap (responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap risiko sosial dan finansial di bidang kesehatan, maka ukuran yang akan dicapai adalah:
1.         Menurunnya beban rumah tangga untuk membiayai pelayanan kesehatan setelah memiliki jaminan kesehatan, dari 37% menjadi 10%
2.         Meningkatnya indeks responsiveness terhadap pelayanan kesehatan dari 6,80 menjadi 8,00.
Dukungan Ditjen PP dan PL terhadap Kementerian Kesehatan dalam meningkatkan upaya promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, serta pembiayaan kegiatan promotif dan preventif diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan pencapaian tujuan Ditjen PP dan PL yaitu terselenggaranya pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan secara berhasil-guna dan berdaya-guna dalam mendukung pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya melalui:

1.         Pembinaan surveilans, imunisasi, karantina dan kesehatan matra.
2.         Pengendalian penyakit menular langsung.
3.         Pengendalian penyakit bersumber binatang
4.         Pengendalian penyakit tidak menular.
5.         Penyehatan lingkungan
6.         Dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada Program PP dan PL
Berdasarkan tujuan Ditjen PP dan PL, maka BTKLPP Kelas I Manado menentukan tujuan yaitu terselenggaranya pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan secara berhasil-guna dan berdaya-guna dalam mendukung pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya melalui:
1.         Pembinaan surveilans, imunisasi, karantina dan kesehatan matra.
2.         Pengendalian penyakit menular langsung.
3.         Pengendalian penyakit bersumber binatang
4.         Pengendalian penyakit tidak menular.
5.         Penyehatan lingkungan
6.         Dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada Program PP dan PL

II.     SASARAN STRATEGIS

Sasaran Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dalam Rencana Aksi Kegiatan BTKLPP Kelas I Manado merupakan sasaran strategis dalam Renstra Kemenkes yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi Ditjen PP dan PL. Sasaran tersebut adalah meningkatnya pengendalian penyakit yang ditandai dengan:
1.         Persentase kab/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan sebesar 40%.
2.         Penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu sebesar 40%.
3.         Kab/Kota yang mampu melaksanakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 100%.
4.         Menurunnya prevalensi merokok pada pada usia ≤ 18 tahun sebesar 5,4%.
5.         Meningkatnya Surveilans berbasis laboratorium sebesar 50 %
6.         Persentase pelabuhan/bandara/PLBD yang melakukan yang melaksanakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 100%.


BAB III.

ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI DAN

KERANGKA KELEMBAGAAN

I.       ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL

Arah kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan nasional 2015-2019 merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang Kesehatan (RPJPK) 2005-2025, yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik lndonesia.
Sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada tahun 2025 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat yang ditunjukkan oleh meningkatnya Umur Harapan Hidup, menurunnya Angka Kematian Bayi, menurunnya Angka Kematian Ibu, menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan kesehatan, maka strategi pembangunan kesehatan 2005- 2025 adalah: 1) pembangunan nasional berwawasan kesehatan; 2) pemberdayaan masyarakat dan daerah;3)pengembangan upaya dan pembiayaan kesehatan;4)      pengembangan dan dan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan; dan 5) penanggulangan keadaan darurat kesehatan.
Dalam RPJMN 2015-2019, sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan kesehatan.



Sasaran pembangunan kesehatan pada RPJMN 2015-2019 dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1. Sasaran Pembangunan pada RPJMN 2015-2019
Indikator
Status Awal
Target 2019
Meningkatnya Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak Menular
a. Prevalensi Tuberkulosis (TB) per 100.000 penduduk
297 (2013)
245
b.Prevalensi HIV (persen)
0,46 (2014)
<0,50
c. Jumlah      kabupaten/kota mencapai eliminasi malaria
212 (2013)
300
d.Prevalensi tekanan darah tinggi (persen)
25,8 (2013)
23,4
e. Prevalensi obesitas pada penduduk usia 18+ tahun (persen)
15,4 (2013)
15,4
f.  Prevalensi merokok penduduk usia < 18 tahun
7,2 (2013)
5,4

Kebijakan pembangunan kesehatan difokuskan pada penguatan upaya kesehatan dasar (Primary Health Care) yang berkualitas terutama melalui peningkatan jaminan kesehatan, peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang didukung dengan penguatan sistem kesehatan dan peningkatan pembiayaan kesehatan. Kartu Indonesia Sehat menjadi salah satu sarana utama dalam mendorong reformasi sektor kesehatan dalam mencapai pelayanan kesehatan yang optimal, termasuk penguatan upaya promotif dan preventif.
Strategi Nasional Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dalam pembangunan kesehatan 2015-2019 adalah meningkatkan pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan melalui :
1.         Peningkatan surveilans epidemiologi faktor risiko dan penyakit;
2.         Peningkatan upaya preventif dan promotif termasuk pencegahan kasus baru penyakit dalam pengendalian penyakit menular terutama TB, HIV, dan malaria dan penyakit tidak menular;
3.         Pelayanan kesehatan jiwa;
4.         Pencegahan dan penanggulangan kejadian luar biasa/wabah;
5.         Peningkatan mutu kesehatan lingkungan;
6.         Penatalaksanaan kasus dan pemutusan rantai penularan;
7.         Peningkatan pengendalian dan promosi penurunan faktor risiko biologi (khususnya darah tinggi, diabetes, obesitas), perilaku (khususnya konsumsi buah dan sayur, aktivitas fisik, merokok, alkohol) dan lingkungan;
8.         Peningkatan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan;
9.         Peningkatan kesehatan lingkungan dan akses terhadap air minum dan sanitasi yang layak dan perilaku hygiene; dan
10.      Pemberdayaan dan peningkatan peran swasta dan masyarakat dalam pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.

II.     ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI DITJEN PP DAN PL

Arah kebijakan dan strategi Ditjen PP dan PL didasarkan pada arah kebijakan dan strategi Kementerian Kesehatan yang mendukung arah kebijakan dan strategi nasional sebagaimana tercantum di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Arah kebijakan Ditjen PP dan PL didasarkan pada arah kebijakan Kementerian Kesehatan mengacu pada tiga hal penting yakni:

1.         Penguatan Pelayanan Kesehatan Primer (Primary Health Care)

Puskesmas mempunyai fungsi sebagai pembina kesehatan wilayah melalui 4 jenis upaya yaitu:
a.      Meningkatkan dan memberdayakan masyarakat.
b.      Melaksanakan Upaya Kesehatan Masyarakat.
c.      Melaksanakan Upaya Kesehatan Perorangan.
d.      Memantau dan mendorong pembangunan berwawasan kesehatan
Pelaksanaan Upaya Kesehatan Masyarakat di puskesmas untuk mendukung pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan dilakukan melalui strategi sebagai berikut :
a.      Peningkatan kemampuan sumber daya manusia di Puskesmas untuk tenaga kesehatan masyarakatdan kesehatan lingkungan termasuk tenaga fungsional sanitarian, entomolog kesehatan,dan epidemiolog kesehatanyang dilakukan melalui peningkatan kemampuan SDM petugas provinsi dan kabupaten/kota. Peningkatan kemampuan SDM puskesmas tidak bisa dilakukan secara langsung oleh Ditjen PP dan PL Hal mengingat pembagian kewewenangan pusat dan daerah serta Standar Pelanayan Minimal di Kabupaten/Kota.
b.      Penguatan menu pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan dalam menu pembiayaan Puskesmas melalui BOK/DAK.

2.         Penerapan Pendekatan Keberlanjutan Pelayanan (Continuum Of Care).

Pendekatan ini dilaksanakan melalui peningkatan cakupan, mutu, dan keberlangsungan upaya pencegahan penyakit dan pelayanan kesehatan ibu, bayi, balita, remaja, usia kerja dan usia lanjut. Keberlangsungan upaya pencegahan penyakit dilakukanoleh Ditjen PP dan PL melalui strategi sebagai berikut:
a.      Pelaksanaan deteksi dini penyakit menular dan tidak menular
b.      Penyelenggaran imunisasi
c.      Penguatan surveilans epidemiologi dan faktor risiko

3.         Intervensi Berbasis Risiko Kesehatan.

Intervensi berbasis risiko kesehatan pada Pogram Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dilakukan pada kegiatan khusus untuk menangani permasalahan kesehatan pada bayi, balita dan lansia, ibu hamil, pengungsi, dan keluarga miskin, kelompok-kelompok berisiko, serta masyarakat di daerah terpencil, perbatasan, kepulauan, dan daerah bermasalah kesehatan.
Kegiatan tersebut dilakukan dengan melakukan integrasi dan sinergi kegiatan lintas program maupun lintas sektor. Integrasi dan sinergi tidak hanya dilakukan pada level antar kementerian di Pusat, namun juga antara Pusat dan Daerah termasuk peningkatan peran swasta dan tokoh masyarakat. Bentuk sinergi dilakukan melalui penyusunan rencana aksi, pembetukan forum komunikasi,  penyusunan roadmap, ataupun penyusunan kerjasama (MoU).
Strategi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dilakukan melalui:
a.      Untuk mengendalikan penyakit menular strategi yang dilakukan adalah:
1)        Perluasan cakupan akses masyarakat (termasuk skrining cepat bila ada dugaan potensi meningkatnya kejadian penyakit menular seperti Mass Blood Survey untuk malaria) dalam memperoleh pelayanan kesehatan terkait penyakit menular terutama di daerah-daerah yang berada di perbatasan, kepulauan dan terpencil untuk menjamin upaya memutus mata rantai penularan.
2)        Perluasan skrining AIDS.Dalam 5 tahun akan dilakukan test pada 15.000.000 sasaran, dengan target tahun 2015 sebanyak 7.000.000 tes dengan sasaran  populasi sasaran (ibu hamil, pasangan ODHA, masyarakat infeksi TB dan hepatitis) dan populasi kunci yaitu pengguna napza suntik, Wanita Pekerja Seks (WPS) langsung maupun tidak langsung, pelanggan/pasangan seks WPS, gay, waria, LSL dan warga binaan lapas/rutan. Target tahun 2016 hingga 2019 akan dilakukan secara bertahap untuk memenuhi targret 15.000.000 test.
3)        Deteksi Dini Hepatitis B dan C; sampai dengan tahun 2019 akan diharapkan paling tidak 90% Ibu hamil telah ditawarkan untuk mengikuti Deteksi Dini Hepatitis B, paling  tidak 90% Tenaga Kesehatan dilakukan Deteksi Dini Hepatitis B dan C; demikian halnya dengan kelompok masyarakat berisiko tinggi lainnya seperti keluarga orang dengan Hepatitis B dan C; Pelajar/mahasiswa Kesehatan; Orang orang dengan riwayat pernah menjalani cuci darah, Orang dengan HIV/AIDS, pasien klinik Penyakit Menular Seksual, Pengguna Napsa Suntik, WPS, LSL, Waria, dll paling tidak 90% diantara mereka melakukan Deteksi Dini Hepatitis B dan C. Secara absolut jumlah yang akan dideteksi dini sampai dengan tahun 2019 paling tidak sebesar 20 juta orang.
4)        Intensifikasi penemuan kasus kusta di 14 provinsi dan147 kab/kota.
5)        Pemberian Obat Pencegahan Massal frambusia di 74 kabupaten endemis
6)        Survey serologi frambusia dalam rangka pembuktian bebas frambusia
7)        Skrining di pelabuhan/bandara/PLBDN yang meliputi: skrining AIDS, skrining hepatitis, melakukan mass blood survey malaria di pelabuhan, pada masyarakat pelabuhan dan skrining penyakit bersumber binatang di pelabuhan.
8)        Memberikan otoritas pada petugas kesehatan masyarakat (Public Health Officers), di pelabuhan/bandara/PLBD terutama hak akses pengamatan faktor risiko dan penyakit dan penentuan langkah penanggulangannya. Untuk mendukung strategi ini dilakukan upaya :
a)     Standarisasi nasional SOP yang digunakan oleh seluruh Kantor Kesehatan Pelabuhan sesuai perkembangan kondisi terkini.
b)     Penyediaan sarana dan peralatan pengamatan faktor risiko dan penyakit sesuai dengan perkembangan teknologi.
c)      Peningkatan kapasitas petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan dalam pengamatan faktor risiko dan penanggulangan penyakit sesuai Prosedur yang ditentukan 
d)     Melakukan peningkatan jejaring dengan lintas sektor dan pengguna jasa.
e)     Melaksanakan Surveilans Epidemiologi penyakit menular berbasis laboratorium
f)       Melaksanakan advokasi dan fasilitasi kejadian luar biasa, wabah dan bencana di wilayah layanan
g)     Melaksanakan kajian dan diseminasi informasi pengendalian penyakit menular
h)     Pengembangan laboratorium pengendalian penyakit menular
i)       Meningkatkan dan mengembangkan model dan teknologi tepat guna
9)     Mendorong keterlibatan masyarakat dalam membantu upaya pengendalian penyakit melalui community base surveillance berbasis masyarakat untuk melakukan pengamatan terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan masalah kesehatan dan melaporkannnya kepada petugas kesehatan agar dapat dilakukan respon dini sehingga permasalahan kesehatan tidak terjadi. Peningkatan peran daerah khususnya kabupaten/kota yang menjadi daerah pintu masuk negara dalam mendukung implementasi pelaksanaan International Health Regulation (IHR) untuk upaya cegah tangkal terhadap masuk dan keluarnya penyakit yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
b.      Untuk  penyakit tidak menular maka perlu melakukan deteksi dini secara proaktif melalui kunjungan ke masyarakat karena 3/4 penderita tidak tahu kalau dirinya menderita penyakit tidak menular terutama pada para pekerja. Di sampingitu perlu mendorong kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS untuk menerapkan kawasan bebas asap rokok agar mampu membatasi ruang gerak para perokok.
Dalam kurun waktu lima tahun mendatang upaya pengendalian difokuskan melalui:
1)     Peningkatan cakupan deteksi dini faktor risiko PTM secara proaktif mengunjungi masyarakat, meliputi:
a)     Deteksi dini kadar gas CO dalam paru, pada masyarakat umum dan sekolah, sasaran 514 Kabupaten/Kota dan 20.000 Sekolah
b)     Deteksi dini kapasitas paru, pada masyarakat umum dan sekolah, sasaran 514 Kabupaten /Kota dan 20.000 Sekolah
c)     Deteksi dini osteoporosis, pada masyarakat umum, sasaran 514 Kabupaten /Kota
d)     Deteksi dini obesitas, pada masyarakat umum dan sekolah, sasaran 40.000 Posbindu dan 20.000 Sekolah
e)     Deteksi dini tekanan darah, pada masyarakat umum dan sekolah, sasaran 40.000 Posbindu dan 20.000 Sekolah
f)      Deteksi dini strok, pada masyarakat umum, sasaran 514 Kabupaten /Kota
g)     Deteksi dini payudara (Sadari), pada masyarakat umum dan sekolah, sasaran 40.000 Posbindu dan 20.000 Sekolah
h)     Deteksi dini kadar alkohol dalam darah, pada kelompok masyarakat khusus (pengemudi), sasaran 208 Terminal
i)       Deteksi dini faktor risiko penggunaan zat aditif dan psikotropika dalam tubuh, pada pengemudi dan penghuni Lapas, sasaran 208 terminal dan 238 Lapas

2)     Peningkatan cakupan deteksi dini PTM di FKTP
a)     Deteksi dini Ca Cervix, pada Wanita Usia Subur (WUS),  sasaran 9000 FKTP
b)     Deteksi dini Diabetes Melitus, pada kelompok, sasaran 9000 FKTP
c)     Deteksi dini hipertensi, sasaran 9000 FKTP
d)     Deteksi dini penyakit hiper tyroid, sasaran 9000 FKTP
e)     Deteksi dini penyakit ginjal kronik, sasaran 9000 FKTP
f)      Deteksi dini penyakit Lupus, sasaran 9000 FKTP
g)     Deteksi dini penyakit thalassemia, sasaran 9000 FKTP
h)     Deteksi dini penyakit Asma dan PPOK, sasaran 9000 FKTP
i)       Deteksi dini penyakit jantung, sasaran 9000 FKTP
3)     Peningkatan sistem surveilans FR dan PTM
a)     Surveilans FR PTM, sasaran 40.000 Posbindu
b)     Surveilans FR PTM, sasaran 20.000 Sekolah
4)     Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam percepatan pengendalian Faktor risiko PTM
a)     Pembinaan kader Posbindu  di Masyarakat, 40.000 Posbindu
b)     Pembinaan pembina OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) dalam pengendalian faktor risiko PTM, sasaran 20.000 Sekolah
c)     Pembinaan tenaga pemantau KTR (Satpam pada fasilitas umum), sasaran 514 Kabupaten /Kota
5)     Peningkatkan daya guna Kemitraan / jejaring (Dalam dan Luar Negeri)
a)     Menyusun Road Map dampak pengendalian Tembakau bersama berbagai stake holder potensial.
b)     Menyusun Road Map dampak konsumsi alkohol bersama berbagai stake holder potensial
c)     Menjalin forum komunikasi dengan Aliansi Bupati/ walikota dalam pengendalian  PTM dan dampak tembakau terhadap kesehatan
d)     Menjalin kerjasama dengan lembaga internasional dalam pengendalian PTM dan dampak rokok terhadap kesehatan
e)     Catatan stake holder potensial: Kementerian Pariwisata, Kementerian Pendidikan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Sosial, Kementerian Peranan Wanita, Kementerian Perdagangan, Akademisi, Satpol PP, Profesi (IDI, PDPI, PERDOSI, PERDOGI, PGRI, dll), PHRI, Organda, LSM (IAKMI, YJI, YLKI, YKI, dll)
6)     Peningkatan SDM Kesehatan pelaksana program PTM, sasaran 34 provinsi, 514 Kabupaten/Kota, 9000 Puskesmas.
7)     Mendorong penyusunan regulasi daerah dalam bentuk: Peraturan Daerah (Perda), PeraturanGubernur, Walikota/ Bupati yang dapat menggerakkan sektor lain di daerah untuk berperan aktif dalam pelaksanaan KTR di 7 (tujuh) tatanan, sasaran 34 Provinsi dan 514 Kabupaten/Kota.
8)     Meningkatkan peran BBTKLPP dalam mendukung upaya pengendalian penyakit tidak menular melalui peningkatan surveilans berbasis laboratorium, kajian faktor risiko penyakit tidak menular dan pengembangan laboratoriumpenyakit tidak menular?
9)     Meningkatkan peran KKP dalam mendukung upaya pengendalian penyakit tidak menular di wilayah pelabuhan/bandara/PLBD

c.      Meningkatnya kesehatan lingkungan, strateginya adalah:
1)     Penyusunan regulasi daerah dalam bentuk peraturan Gubernur, Walikota/ Bupati yang dapat menggerakkan sektor lain di daerah untuk berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan penyehatan lingkungan seperti peningkatan ketersediaan sanitasi dan air minum layak serta tatanan kawasan sehat.
2)     Meningkatkan pemanfaatan teknologi tepat guna sesuai dengan kemampuan dan kondisi permasalahan kesehatan lingkungan di masing-masing daerah.
3)     Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam wirausaha sanitasi.
4)     Penguatan POKJA Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) melalui pertemuan jejaring AMPL, Pembagian peran SKPD dalam mendukung peningkatan akses air minum dan sanitasi.
5)     Peningkatan peran Puskesmas dalam pencapaian kecamatan/kabupaten Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS) minimal satu Puskesmas memiliki satu Desa SBS.
6)     Meningkatkan peran daerah potensialyang melaksanakan strategi adaptasi dampak kesehatan akibat perubahan iklim.
7)     Peningkatan cakupan TPM Sehat, TTU Sehat dan RS yang melaksanakan pengelolaan limbah medis sesuai standar
8)     Peningkatan pelaksanaan kegiatan kesehatan lingkungan dalam keadaan tertentu
9)     Pemberian stimulan sarana dan prasarana kepada daerah (dengan kriteria tertentu)
10)  Meningkatkan peran BTKLPP dalam mendukung upaya penyehatan lingkungan melalui peningkatan kajian penyehatan lingkungan, pengembangan teknologi tepat guna penyehatan lingkungan, pengembangan laboratorium lingkungan dan pelaksanaan analisis dampak kesehatan lingkungan.
11)  Meningkatkan peran KKP dalam mendukung upaya penyehatan lingkungan dengan mewujudkan pelabuhan/bandara/PLBD sehat

III.    KERANGKA REGULASI

Agar pelaksanaan program dan kegiatan dapat berjalan dengan baik maka perlu didukung dengan regulasi yang memadai. Perubahan dan penyusunan regulasi disesuaikan dengan tantangan global, regional dan nasional. Kerangka regulasi diarahkan untuk: 1) penyediaan regulasi dari turunan Undang-Undang yang terkait dengan kesehatan; 2) meningkatkan pemerataan sumber daya manusia kesehatan; 3) pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan; 4) peningkatan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan berwawasasn kesehatan; 5) penguatan kemandirian obat dan alkes; 6) penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional yang lebih bermutu; 7) penguatan peran pemerintah di era desentralisasi; dan 8) peningkatan pembiayaan kesehatan.
Kerangka regulasi yang akan disusun antara lain adalah perumusan peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri yang terkait, termasuk dalam rangkamenciptakan sinkronisasi, integrasi penyelenggaraan pembangunan kesehatan antara pusat dan daerah.
Dalam kurun waktu 5 tahun mendatang target regulasi yang akan diselesaikan terkait PP dan PL sebanyak 25 rancangan regulasi yang diselesaikan tiap tahunnya, sehingga dalam kurun waktu 5 tahun akan dihasilkan 125 rancangan regulasi terkait Program PP dan PL.

IV.   KERANGKA KELEMBAGAAN

Desain organisasi yang dibentuk memperhatikan mandat konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan, perkembangan dan tantangan lingkungan strategis di bidang pembangunan kesehatan, Sistem Kesehatan Nasional, pergeseran dalam wacana pengelolaan kepemerintahan (governance issues), kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, dan prinsip reformasi birokrasi (penataan kelembagaan yang efektif dan efisien).
Fungsi pemerintahan yang paling mendasar adalah melayani kepentingan rakyat. Kementerian Kesehatan akan membentuk pemerintahan yang efektif melalui desain organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing), menghilangkan tumpang tindih tugas dan fungsi dengan adanya kejelasan peran, tanggung jawab dan mekanisme koordinasi (secara horisontal dan vertikal) dalam menjalankan program-program Renstra 2015-2019.
Kerangka kelembagaan terdiri dari: 1) sinkronisasi nomenklatur kelembagaan dengan program Kementerian Kesehatan; 2) penguatan kebijakan kesehatan untuk mendukung NSPK dan pengarusutamaan pembangunan berwawasan kesehatan; 3) penguatan pemantauan, pengendalian, pengawasan dan evaluasi pembangunan kesehatan; 4) penguatan bisnis internal Kementerian Kesehatan yang meliputi pembenahan SDM Kesehatan, pembenahan manajemen, regulasi dan informasi kesehatan; 5) penguatan peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan; 6) penguatan sinergitas pembangunan kesehatan; 7) penguatan program prioritas pembangunan kesehatan ; dan 8) penapisan teknologi kesehatan.
Kerangka kelembagaan untuk mendukung Program PP dan PL disusun sesuai dengan Kebijakan Pemerintah dan Kementerian Kesehatan, dimana Ditjen PP dan PL akan berperan aktif terhadap upaya upaya perbaikan yang akan dilakukan untuk memastikan kerangka kelembagaan sesuai dengan tantangan dan kebutuhan Program PP dan PL.

BAB IV

TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN


Memperhatikan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan, tujuan, arah kebijakan dan strategi Ditjen PP dan PL sebagaimana diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka disusunlah target kinerja dan kerangka pendanaan BTKLPP Kelas I Manado tahun 2015- 2019.

I.       TARGET KINERJA

Sasaran Rencana Aksi Kegiatan BTKLPP Kelas I Manado, ditetapkan dengan merujuk pada sasaran yang ditetapkan dalam Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit dan Penyahatan Lingkungan,  sebagaimana didistribusikan pada Direktorat Dirjen PP-PL Kemenkes.  Sasaran yang ditetapkan tersebut adalah :
1.      Menurunkan angka kesakitan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, peningkatan surveilans dan karantina kesehatan. 
2.      Menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular langsung.
3.      Meningkatnya pencegahan dan penanggulangan penyakit tular vector dan zoonotic.
4.      Menurunnya angka kesakitan dan angka kematian serta meningkatnya pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular.
5.      Meningkatnya penyehatan dan pengawasan kualitas lingkungan.
6.      Meningkatnya mutu dan akses pelayanan kesehatan jiwa dan Napza.
7.      Meningkatnya dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada program pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan

Untuk mencapai sasaran tersebut, maka disusunlah indicator kinerja sebagai berikut:
1.      a. Sasaran Kinerja:
Menurunkan angka kesakitan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, peningkatan surveilans dan karantina kesehatan. 
b.  Indikator kinerja:
1)    Jumlah Penguatan system Kewaspadaan Dini KLB Penyakit
2)    Jumlah Lokasi yang Melaksanakan Pengendalian Faktor Risiko pada Kondisi Matra

2.      a. Sasaran Kinerja:
Meningkatnya Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Bersumber Binatang.
b.  Indikator kinerja:
1)  Jumlah Kajian Pengendalian Penyakit Malaria
2)  Jumlah Kajian dan Monitoring faktor risiko sumber penular dan efektivitas intervensi DBD
3)  Jumlah Pengamatan Faktor Risiko dan Sumber Penular Leptospirosis di Wilayah Kerja
4)  Jumlah Kajian Faktor Risiko Kecacingan
5)  Jumlah Pelaksanaan Kegiatan Surveilans/Pengendalian Vektor

3.      a. Sasaran Kinerja:
Menurunnya Angka Kesakitan dan Kematian akibat Penyakit Menular Langsung.
b.  Indikator kinerja:
1)  Jumlah Laporan Pengendalian Kasus TB

4.      a. Sasaran Kinerja:
Menurunnya Angka Kesakitan dan Kematian akibat Penyakit Tidak Menular; Meningkatnya Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular.
b.  Indikator kinerja:
1)  Jumlah Kab/Kota yang melaksanakan monitoring faktor risiko PTM melalui kegiatan Posbindu PTM pada Kelompok Masyarakat Khusus
2)  Jumlah Pengendalian Kecelakaan yang Dilakukan oleh Kab/Kota





5.      a. Sasaran Kinerja:
Meningkatnya penyehatan dan pengawasan kualitas lingkungan.
b.  Indikator kinerja kegiatan:
1)  Jumlah Kab/Kota pelaksanaan Surveilans/Kajian Faktor Risiko Kesehatan yang Melaksanakan yang Melaksanakan Penyehatan Kawasan dalam Keadaan Tertentu
2)  Jumlah Kab/Kota Pelaksanaan Surveilans/Kajian Faktor Risiko Kesehatan pada Tempat-Tempat Umum
3)  Jumlah Kab/Kota Pelaksanaan Surveilans/Kajian FRKL pada Tempat Pengolahan Makanan
4)  Jumlah Kab/Kota Pelaksanaan Surveilans/Kajian Faktor Risiko Lingkungan dalam Rangka Pengawasan Kualitas Air
5)  Jumlah Lokasi Pelaksanaan Kajian ADKL/ARKL
6)  Jumlah Advokasi atau Jejaring Kemitraan Surveilans Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan
7)  Jumlah Tenaga Teknis Terlatih Bidang ADKL
8)  Jumlah Model Penerapan Teknologi Tepat Guna

6.      a. Sasaran Kinerja:
Meningkatnya dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada program pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
b.  Indikator kinerja kegiatan:
1)  Jumlah Kegiatan Dukungan Manajemen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan yang Mendukung Perolehan SAKIP dengan Hasil Minimal AA
2)  Jumlah sarana/Prasarana yang Mendukung Program PP-PL untuk Memenuhi Standar





II.     KERANGKA PENDANAAN

Pendanaan kegiatan BTKLPP Kelas I Manado diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (anggaran) untuk mencapai target indikator kinerja BTKLPP Kelas I Manado yang ditetapkan. Pengalokasian anggaran dilakukan memperhatikan asas efektifitas dan efisiensi penganggaran.
Sumber pendanaan kegiatan BTKLPP Kelas I Manado dalam kurun waktu 5 tahun mendatang masih tertumpu pada APBN (rupiah murni) disertai dengan optimalisasi pemanfaatan anggaran bersumber PNBP. Rencana pendanaan kegiatan BTKLPP Kelas I Manado tahun 2015-2019 selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1.






PEMANTAUAN, PENILAIAN, PELAPORAN


 I.      PEMANTAUAN
Pemantauan dimaksudkan untuk mensinkronkan kembali keseluruhan proses kegiatan agar sesuai dengan rencana yang ditetapkan dengan perbaikan segera agar dapat dicegah kemungkinan adanya penyimpangan ataupun ketidaksesuaian yang berpotensi mengurangi bahkan menimbulkan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran. Untuk itu, pemantauan diarahkan guna mengidentifikasi jangkauan pelayanan, kualitas pengelolaan, permasalahan yang terjadi serta dampak yang ditimbulkannya.
Pemantauan yang dilaksanakan oleh BTKLPP Kelas I Manado, adalah:
1.      Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) dan Rencana Penarikan Dana (RPD),
2.      Rapat mingguan/bulanan setiap seksi/subbag dan rapat seluruh seksi/subbag dengan kepala balai.
3.      Laporan eksekutif, Laporan Bulanan, Laporan Triwulan (e-rengar) dan laporan semester serta laporan tahunan yang dilaporkan secara berkala ke eselon I,

II.       PENILAIAN
Penilaian Rencana Aksi Kegiatan bertujuan untuk menilai keberhasilan penyelenggaraan pengendalian penyakit dan peyehatan lingkungan khususnya di BTKLPP Kelas I Manado. Penilaian dimaksudkan untuk memberikan bobot atau nilai terhadap hasil yang dicapai dalam keseluruhan pentahapan kegiatan, untuk proses pengambilan keputusan apakah suatu program atau kegiatan diteruskan, dikurangi, dikembangkan atau diperkuat. Untuk itu penilaian diarahkan guna mengkaji efektifiktas dan efisensi pengelolaan program. Penilaian kinerja program pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan dilaksanakan berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan.
Penilaian yang dilaksanakan oleh BTKLPP Kelas I Manado, adalah:
1.      Capaian kinerja per triwulan
2.      Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah tahunan
3.      Kepmenkes No. 266/Menkes/SK/III/2004 tentang Tatacara Penilaian Kriteria Klasifikasi Unit Pelaksana Teknis di Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular

Table 2. Penilaian Indikator Kinerja BTKLPP Kelas I Manado
NO
Indikator Kinerja
Satuan
Definisi Operasional
Cara Perhitungan
1
Jumlah Penguatan system Kewaspadaan Dini KLB Penyakit
Kali
Jumlah kegiatan SKD KLB, Fasilitasi Teknis Penguatan Kewaspadaan Dini KLB Penyakit dan Penyelidikan Epidemiologi KLB/Wabah-Rapid Health Assesment/Response.
Jumlah Lokasi yang dilaksanakan faktor risiko pada kondisi matra
2
Jumlah Lokasi yang Melaksanakan Pengendalian Faktor Risiko pada Kondisi Matra
Lokasi
Jumlah Lokasi yang dilaksanakan surveilans faktor risiko pada kesehatan Matra dan SKD Situasi Khusus Arus Mudik Lebaran/Natal/Tahun Baru di Wilayah Layanan
Jumlah kegiatan yang dilaksanakan di Kab/Kota wilayah layanan.
3
Jumlah Kajian Pengendalian Penyakit Malaria
Kajian
Jumlah Faktor Risiko Malaria, Efikasi Kelambu Berinsektisida dan Monitoring Nyamuk Anopheles terhadap Insektisida.
Jumlah Kajian yang dilaksanakan di Kab/Kota wilayah layanan
4
Jumlah Kajian dan Monitoring faktor risiko sumber penular dan efektivitas intervensi DBD
Kajian
Jumlah Survei ABJ, Pencanangan Bulan Bhakti PSN dan 3M Plus dan Fasilitasi Teknis Bidang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang
Jumlah Kajian yang dilaksanakan di Kab/Kota wilayah layanan
5
Jumlah Pengamatan Faktor Risiko dan Sumber Penular Leptospirosis di Wilayah Kerja
Kali
Jumlah Survei Faktor Risiko Leptospirosis di Kab/Kota Wilayah Kerja
Jumlah Kajian yang dilaksanakan di Kab/Kota wilayah layanan
6
Jumlah Kajian Faktor Risiko Kecacingan
Kajian
Jumlah Kajian Faktor Risiko Kecacingan di Kab/Kota Wilayah Layanan
Jumlah Pengamatan yang dilaksanakan di Kab/Kota wilayah layanan
7
Jumlah Pelaksanaan Kegiatan Surveilans/Pengendalian Vektor
Kali
Jumlah pengendalian vector dan kajian faktor risiko DBD, mapping vector dan uji resistensi nyamuk aedes aegypti terhadap insektisida di Kab/Kota Wilayah Layanan
Jumlah Kegiatan yang dilaksanakan di Kab/Kota wilayah layanan
8
Jumlah Laporan Pengendalian Kasus TB
Laporan
Jumlah Laporan berdasarkan survei faktor risiko kejadian TB di Kab/Kota Wilayah Layanan
Jumlah Laporan Kegiatan di Kab/Kota wilayah layanan
9
Jumlah Kab/Kota yang melaksanakan monitoring faktor risiko PTM melalui kegiatan Posbindu PTM pada Kelompok Masyarakat Khusus
Kab/Kota
Jumlah Deteksi Dini Faktor Risiko PJPD dan DM serta Fasilitasi Teknis Kegiatan PTM di Wilayah Layanan.
Jumlah Monitoring Faktor Risiko PTM di Kab/Kota wilayah layanan
10
Jumlah Pengendalian Kecelakaan yang Dilakukan oleh Kab/Kota
Kab/Kota
Jumlah kegiatan Deteksi Alkohol dalam darah Pengemudi Kendaraan Bermotor di Kab/Kota Wilayah Layanan.
Jumlah Kegiatan yang dilaksanakan di Kab/Kota wilayah layanan
11
Jumlah Kab/Kota pelaksanaan Surveilans/Kajian Faktor Risiko Kesehatan yang Melaksanakan yang Melaksanakan Penyehatan Kawasan dalam Keadaan Tertentu
Kab/Kota
Jumlah pelaksanaan surveilans/kajian faktor risiko kesehatan lingkungan dan buffer stock pada situasi khusus/bencana/pencemaran serta penyelenggaraan haji di Kab/Kota.
Jumlah Kegiatan yang dilaksanakan di Kab/Kota wilayah layanan
12
Jumlah Kab/Kota Pelaksanaan Surveilans/Kajian Faktor Risiko Kesehatan pada Tempat-Tempat Umum
Kab/Kota
Jumlah Kabupaten/Kota yang layak untuk dikunjungi oleh masyarakat dan pengelolaan limbah pada tempat tersebut telah memenuhi standar/syarat kesehatan sesuai dengan peraturan yang telah berlaku dengan melakukan penilaian kualitas lingkungan dan survey/pengambilan sampel kualitas lingkungan baik dilihat dari Mikrobiologis, Fisika dan Kimia pada tempat-tempat umum.
Jumlah Kegiatan yang dilaksanakan di Kab/Kota wilayah layanan
13
Jumlah Kab/Kota Pelaksanaan Surveilans/Kajian FRKL pada Tempat Pengolahan Makanan
Kab/Kota
Jumlah Pelaksanaan Surveilans FRKL di Restoran/Rumah Makan dan Jasaboga yang memenuhi standar secara fisik dan laboratorium di Kab/Kota.
Jumlah Kegiatan yang dilaksanakan di Kab/Kota wilayah layanan
14
Jumlah Kab/Kota Pelaksanaan Surveilans/Kajian Faktor Risiko Lingkungan dalam Rangka Pengawasan Kualitas Air
Kab/Kota
Jumlah tempat diadakannya surveilans tentang kualitas air, melalui kegiatan surveilans factor risiko kesehatan lingkungan dan pemeriksaan kualitas air melalui survey dan penilaian kualitas lingkungan di Kab/Kota Wilayah layanan.
Jumlah Kegiatan yang dilaksanakan di Kab/Kota wilayah layanan
15
Jumlah Lokasi Pelaksanaan Kajian ADKL/ARKL
Lokasi
Jumlah Lokasi pengukuran kualitas udara ambient/emisi dan pada penilaian kualitas lingkungan serta pengambilan sampel di lingkungan limbah industry.
Jumlah Lokasi yang dilaksanakan kajian ADKL/ARKL
16
Jumlah Advokasi atau Jejaring Kemitraan Surveilans Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan
Kali
Jumlah advokasi/jejaring yang dilaksanakan BTKLPP Kelas I Manado kepada Stakeholder terkait pada kegiatan surveilans factor risiko kesehatan lingkungan dalam rangka penguatan jejaring dan sinkronisasi serta integrasi program surveilans factor risiko lingkungan di daerah Wilayah Layanan.
Jumlah Kegiatan yang dilaksanakan di Wilayah Layanan
17
Jumlah Tenaga Teknis Terlatih Bidang ADKL
Tenaga
Jumlah tenaga teknis yang mengikuti pendidikan dan pelatihan dalam upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi Sumber daya manusia di BTKLPP Kelas I Manado
Jumlah Tenaga Teknis yang ditingkatkan.
18
Jumlah Model Penerapan Teknologi Tepat Guna
Unit
Jumlah design/model TTG yang dihasilkan dan diterapkan pada masyarakat
Jumlah Design/Model TTG yang dihasilkan dan diterapkan
19
Jumlah Kegiatan Dukungan Manajemen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan yang Mendukung Perolehan SAKIP dengan Hasil Minimal AA
Kali
Jumlah Kegiatan Dukungan Manajemen yang mendukung perolehan SAKIP BTKLPP Kelas I Manado
Jumlah Kegiatan Dukungan Manajemen BTKLPP Kelas I Manado
20
Jumlah sarana/Prasarana yang Mendukung Program PP-PL untuk Memenuhi Standar
Paket
Jumlah Sarana/Prasarana yang ditingkatkan di BTKLPP Kelas I Manado untuk Memenuhi Standar
Jumlah Sarana/Prasarana yang ditingkatkan

III.      PELAPORAN
Pelaporan yang dilaksanakan oleh BTKLPP Kelas I Manado, adalah:
1.      Laporan Tahunan
2.      Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)

BAB VI

PENUTUP


Rencana Aksi Kegiatan BTKLPP Kelas I Manado tahun 2015 – 2019, ini disusun untuk dijadikan acuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian upaya pelaksanaan program PP dan PL berbasis laboratorium dalam kurun waktu lima tahun ke depan dan menjadi target kinerja yang telah ditetapkan dan akan dievaluasi secara periodic setiap tahun pada periode 5 tahun.
Jika di kemudian hari diperlukan adanya perubahan pada Rencana Aksi Kegiatan BTKLPP Kelas I Manado  2015-2019, maka akan dilakukan penyempurnaan sebagaimana mestinya.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar